Read more: http://impoint.blogspot.com/2013/03/cara-membuat-auto-readmore-di-blog.html#ixzz2h0XRxHvu Dilarang copy paste artikel tanpa menggunakan sumber link - DMCA Protected Follow us: @ravdania on Twitter | pemakan.worell on Facebook

12.03.2010

{ IPK = tolak ukur } apakah masih relevan ?

Tugas pokok pendidikan nasional adalah membentuk jati diri seorang individu menjadi
pribadi yang dewasa, mandiri, merdeka, dan dapat bertanggung jawab. Pemikiran tersebut
disampaikan Ignas Kleden dalam sebuah seminar bertema "Rekonstruksi Jadi Diri Bangsa
Pascakrisis" yang diselenggarakan Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik di Unika
Parahyangan, Bandung, akhir Agustus lalu.

Lebih jauh diuraikan bahwa pendidikan dan pengajaran bertugas bukan saja memberikan
pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga meningkatkan kemampuan belajar. Pengajaran
bertugas menyampaikan pengetahuan dan informasi kepada peserta didik, sementara
pendidikan bertugas mengubah pengetahuan dan informasi menjadi nilai-nilai yang
terwujud dalam sikap, pandangan, pendirian, keyakinan.

BANYAK pendapat yang menyatakan bahwa sekolah dalam banyak hal tidak bisa menjawab
kebutuhan hidup. Terlebih perguruan tinggi yang diharapkan melahirkan manusia yang
lebih cakap menjawab kebutuhan hidup, ternyata lebih berperan menambah angka
pengangguran tersamar atau penganggur intelektual. Alhasil, saat ini orangtua semakin
berkurang minatnya untuk mengeluarkan biaya-biaya yang besar untuk menguliahkan anak.

Jika tujuan pendidikan tercapai, artinya terbentuk jati diri seorang individu menjadi
pribadi yang dewasa, mandiri, merdeka, dan dapat bertanggung jawab, tentunya seseorang
hasil suatu proses pendidikan mempunyai kemampuan menjawab kebutuhan hidupnya. Yang
menjadi pertanyaan adalah jika hal tersebut yang menjadi tujuan pendidikan, apakah
nilai indeks prestasi (IP) masih relevan sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan.

Pasar kerja sendiri sering menyebutkan bahwa besarnya tingkat kegagalan pada tes
akademik merupakan bukti bahwa nilai IP bukanlah jaminan bahwa lulusan dengan nilai
yang baik akan mampu bersaing. Kegagalan psikotes umumnya diakibatkan kurangnya
kemandirian para pelamar sehingga belum siap menghadapi dunia kerja yang menuntut
kemandirian dan kemampuan menempatkan diri sendiri. Hal ini tentunya merupakan
peringatan bagi perguruan tinggi apakah sistem evaluasi yang hasilnya dituangkan dalam
transkrip nilai mampu mencerminkan kemampuan (pengetahuan, keterampilan, belajar, dan
bersikap) lulusannya.

Romo Magnis-Suseno dalam seminar tersebut bahkan mengatakan tidak ada hubungan antara
nilai indeks prestasi dengan keberhasilan seseorang dalam memperoleh pekerjaan dan
dalam kecakapannya bekerja. Apakah ini bukan suatu ironi? Apakah pendapat ini kita
biarkan saja atau indeks prestasi sebagai tolok ukur keberhasilan proses
belajar-mengajar perlu dipertanyakan (atau istilah yang marak sekarang ini
direformasi).

Titik berat selama ini masih pada pengajaran. Dengan komponen nilai terdiri atas nilai
tugas, ujian pertengahan semester dan ujian akhir semester, tampaknya indeks prestasi
hanya mewakili nilai akumulasi pengetahuan (penumpukan informasi), bahkan tidak dapat
menginformasikan besar peningkatan pengetahuan setiap peserta didik. Mahasiswa pun ada
yang mengakui bahwa makna nilai B untuk setiap mahasiswa berbeda. Bagaimana proses
untuk memperoleh nilai B itu yang lebih bermakna. Dan oleh peserta didik, penjelasan
ini tentunya sulit diterima karena nilai IP menjadi hal yang cukup penting untuk
melamar pekerjaan. Mahasiswa dengan nilai IP rendah akan kehilangan kesempatan karena
tidak lolos penyaringan lamaran.

Penggantian kurikulum yang dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pendidikan juga tidak
tercapai. Saat ini kita sedang menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi, dan
tampaknya dengan kurikulum ini para insan pendidikan hanya terjebak terutama ke soal
pemilihan mata kuliah-mata kuliah dan materi perkuliahan. Kurikulum yang terus
berganti sebenarnya hanya mengambil sedikit peran dari banyak faktor yang memengaruhi
keberhasilan pendidikan. Ada banyak hal yang juga turut andil dalam keberhasilan
proses pendidikan, salah satunya sistem belajar-mengajar. Tentunya ini harus diikuti
dengan sistem evaluasi nilai yang menggambarkan keberhasilan proses belajar-mengajar
tersebut secara utuh.

NILAI akhir jangan hanya merupakan nilai pengajaran yang biasanya merupakan akumulasi
nilai tugas, ujian pertengahan semester dan ujian akhir semester. Untuk menuangkan
keberhasilan pembentukan jati diri seorang individu menjadi pribadi yang dewasa,
mandiri, merdeka, dan dapat bertanggung jawab, tentunya kita tidak boleh lupa
memasukkan nilai-nilai pendidikan ke dalam nilai akhir, di samping nilai pengajaran.

Nilai-nilai tersebut antara lain mencakup nilai kedisiplinan, kejujuran, ketekunan,
kerajinan, inisiatif, keberanian mengemukakan pendapat, kemandirian, kerja sama,
berkompetisi, sopan santun (etika). Dan yang tidak kalah penting bagi perguruan
tinggi, yang mempunyai tugas sebagai motivator, harus menghargai perbedaan keadaan
awal dan keadaan akhir setiap peserta didik. Dengan demikian dapat terlihat
peningkatan kecerdasan dan peningkatan kemampuan belajar setiap peserta didik yang
diharapkan menjadi modal besar selepas lulus.

Nilai-nilai pendidikan dan pengajaran tersebut sebaiknya dirumuskan (diformulasi)
secermat mungkin sehingga setiap dosen dengan seobyektif mungkin dapat mengadopsi
dengan pendekatan masing-masing. Dengan sistem evaluasi nilai yang menggambarkan
keberhasilan proses belajar-mengajar secara utuh, perguruan tinggi dapat menghasilkan
sarjana dengan indeks prestasi yang mencerminkan kemampuannya secara utuh.

refrensi >>> http://www.mail-archive.com/geounpad@yahoogroups.com/msg00145.html

1 comments:

Pia said...

Good blog :)
And good writing.

Saya mampir dalam perjalanan saya mencari ide tentang tulisan, karena "jalan-jalan" adalah salah satu cara mendapat ide.
Kunjungi dan follow blog saya : quotablewoman.blogspot.com, dan saya akan menfollow balik anda. Thanks.

Post a Comment

pe'sing (pesan singkat)